Cerita ini hanya karangan fiktif belaka. Jadi, jika
ada pihak-pihak yang tersinggung, ya Maap…. J
Mentari makin lengser
ke sebelah barat. Meski pelan, tapi pasti. Azan dzuhur sudah terdengar sejak
tadi. Tapi, guru di depan kelas masih ngedumel enggak jelas. Semua siswa yang
ada di kelas itu sama sekali tak ada yang memperhatikan.
Terlihat di paling
pojok kiri belakang, Hanafi duduk termenung sendiri menatap keluar jendela.
Melihat parkiran motor guru di luar. Satu motor yang terus saja ia amati. Motor
mio warna hijau. Ah, sama persis dengan motor milik Nurma. Ah, ya. Ke mana
Nurma? Tak ada di kelas. Oh, hanya ada dua puluh tiga kepala, dua puluh empat
jika ditambah dengan guru di depan. Hanafi mengerlingkan kepala ke depan meja
guru. Masih terlihat amplop putih dengan warna biru merah di
pinggir-pinggirnya. Isinya sudah keluar entah ke mana. Yang jelas, tadi
guru-guru yang masuk sebelum ini sudah membacanya. Mereka tahu bahwa hari ini
Nurma tidak masuk. Ah, dia sakit.
“Sedang apa ya dia?”
gumam Hanafi sendiri. Ia tak sadar bahwa sejak tadi Bayu yang duduk tepat di
depannya terus saja memandanginya. Sesaat lamanya, setelah ia sadar guru di
depan menutup dengan salam, ia baru menyadari gelagat Bayu.
“Ngapain lu?”
sentaknya. Ia merasa risih dengan sikap Bayu.
“Ngapain aja sih?
Ngelamun mulu?” Bayu tak menggubris protesan Hanafi tadi.
“Alah, mau tau aja.
Lagian…”
“Han! Sholat yuk!”
tiba-tiba suara Nopi memotong kata-kata Hanafi pada Bayu.
“Em, ya,” jawab Hanafi sambil
beranjak dari tempat duduknya. Bayu terlihat tak bergeming. Ia baru bangkit
setelah mendapat ocehan dari Wulan.
“Iya, iya. Aku sholat!”
dengusnya setalah Wulan berkali-kali berkata, “Sholat sana lo, Yu!”
“Kamu aja enggak
sholat!” batin Bayu. Padahal dia sendiri tahu kalau Wulan pasti sedang ada
tamu. Makannya enggak sholat.
Hanya dalam waktu
beberapa menit, kelas yang tadi terlihat agak ramai itu jadi sepi tak ada suara
sama sekali. Wulan yang sukses menyemprot Bayu sudah pergi ke perpustakaan
bersama Putri. Tapi, Zahra yang malas pergi ke perpustakaan malah sibuk dengan
hp-nya.
***
Baru beberapa detik
Hanafi mengangkat tangan untuk takbiratul ihram, Bayu kembali melongoknya.
“Woi anak gila! Buruan
sholat! Udah tau kita enggak jama’ah tadi,” protesnya.
“Enggak pengen ketawa?”
Tanya Bayu tanpa dosa.
“Hais… enggak penting
amat sih ni anak. Enggak tau orang lagi galau kali yak?” Hanafi ngedumel dalam
hati. Akhirnya, set… ia mengambil dua langkah ke kanan. Daripada enggak
sholat-sholat, mending ngejauh deh. Bukan saatnya bercanda, begitu fikirnya.
Meski begitu, Bayu masih ingin menjahili Hanafi, tapi, Nopi yang ada di
sampingnya langsung menyikutnya dan segera mengisyaratkannya untuk segera
sholat. Bayu hanya manyun kesal.
***
“Kita mau jengukin
Nurma enggak nih?” Nitya yang mulai bosan dengan penjelasan guru setelah jam
ibadah itu, menjawil Hanafi. Tentu saja ia berhasil pindah ke samping Hanafi
tanpa ketahuan.
“Nah, kok Tanya aku?”
Tanya Hanafi sok polos. Padahal, dia gugup karena takut jangan-jangan Nitya
tahu perasaannya pada Nurma.
“Hais, gimana toh?
Bukannya kamu ketua kelas? Ngikut kamu dong?” jawab Nitya. Dalam hati Hanafi
menghela nafas. Oh, ternyata my feel is not to be real.
“Yah, tinggal anak-anak
bisa enggak nanti. Aku juga ngikut kalian kok,” balas Hanafi. Padahal dia
pinginnya bukan itu yang ingin disampaikan. Tapi, “Ya iyalah. Masa temen sakit
kok enggak dijengukin.”
“Ya, bisa-bisa,” kata
Nitya lalu pergi lagi ke bangkunya.
“Mau jengukin Nurma?
Padahal dia udah sms aku baik-baik aja tuh,” Bayu nyahut tanpa membalikkan
badan.
“Emang dia sms kayak
mana?” Hanafi penasaran. Ah, kenapa bukan aku saja yang di sms? Sesalnya.
“Dia bilang dia udah
baikan kok. Enggak perlu lagi dijengukin,” jawab Bayu masih tetap tak
membalikkan badannya. Diam-diam Hanafi merasa kecewa. Ah, kok gitu sih. Apa dia
enggak suka kalau aku ke sana? Hanafi bertanya-tanya.
“Jengukin lah. Kita kan
keluarga,” Surya di samping Bayu tiba-tiba angkat bicara.
“Alah, sok bijak lu!”
Bayu ketus. Tapi, surya malah cengar-cengir.
“Iya, deh. Jengukin
aja. Kemarin, waktu Wulan sakit juga kita jengukin. Masa sekarang Nurma sakit
enggak kita jengukin sih? Nanti dikira pilih kasih,” Hanafi mencoba mendesak
Bayu.
“Ye, ya terserah toh.
Orang aku Cuma menyampaikan apa yang sudah di smsnya padaku.”
“Ah, sok puitis lu…”
Surya balas dendam.
“Biarin. Daripada
cerpenis!” Bayu enggak mau kalah.
“Ssst! Berisik!” sentak
Ulfa dan Zahra yang duduk di samping Surya dan Bayu berbarengan. Sontak, mereka
bertiga langsung diam. Nah, giliran mereka yang diam, malah Zahra sama Ulfa
yang kena semprot guru di depan. Dikira mereka yang ribut.
“Yang enggak salah
malah kena semprot,” gerutu Zahra. Ulfa yang mendengarnya hanya menahan tawa.
***
“Aduh, sorry deh. Aku
enggak bisa ikut jengukin Nurma. Ada something nih di rumah,” izin Anis saat
mereka semua sudah berkumpul di lapangan bersama.
“Ya, deh. Enggak papa.
Siapa lagi yang enggak bisa?” Hanafi melihat teman-temannya satu per satu. Ah,
enggak ada. Berarti semua bisa dong.
“Hei! Naik apa nih yang
enggak ada motor?” Amalia bicara tanpa angkat tangan.
“Antar jemput kan
bisa,” Lutfi yang duduk tepat di belakangnya memberi ide.
“Ya, terserah, deh.
Bensin, bensin kamu orang juga.”
Hanafi kembali melihat
teman-temannya satu per satu. Yang ada motor, Surya, Bayu, Ayu, Fitria, Nitya,
Zahra, Ida, Agil, Winda, Rama, dan dia sendiri. Sedangkan yang tidak, Dedi,
Nopi, Lutfi, David, Salas, Dea, Ulfa, Mega, Putri, Amalia, dan Wulan.
“Pas kok, mak! Yang
bawa motor sebelas, yang enggak juga sebelas. Mak Anis kan enggak ikut,” terang
Hanafi yang biasa memanggil Amalia dan Anis dengan kata mak di depannya.
“Oh, ya sudi,” kata
Amalia yang sebenarnya sudah tak memperduikan masalah motor. Ekspresi wajahnya
yang menunjukkan ekspresi bosen, jengkel dan kocak membuat yang lain tertawa
walau sebentar.
“Oke deh. Yok
berangkat.”
***
“Huff! Nyampek juga
tempat Nurma,” batin Hanafi. “Hem, Nurmanya kemana yak?”
“Assalamu’alaikum!”
teriak teman-temannya mendahuluinya. Dia Cuma bisa garuk-garuk kepala. “Alah,
pake keduluan segala,” katanya dalam hati.
“Wa’alaikum salam,”
seseorang yang membuat hati Hanafi langsung mencair keluar dari balik pintu
depan.
“Waduh, repot-repot
segala. Padahal aku udah enggak papa lo,” kata Nurma yang langsung
mepersilahkan teman-temannya itu masuk. Ya, walau akhirnya ditolak juga karena
mereka memilih di teras saja.
“Ok deh! Aku ambilin
minum dulu,” Nurma beranjak.
“Eits, enggak usah
repot-repot, Ma. Keluarin aja semuanya,” Bayu coba ngelawak. Tapi, Zahra
langsung beraksi, “Krik, krik, krik.”
“Hahahahaha….” Sontak
semuanya tertawa.
“Ah, kampret lu, Ra?”
protes Bayu. Sedangkan Nurma sudah masuk duluan.
Hanafi diam menghadap
ke jalanan. Teman-temannya yang lain asyik bercanda tawa. Ia hanya menatap
kosong jalanan yang berdebu itu.
“Ah, kalau aku
lama-lama mendem perasaan ini, bisa gila aku!” katanya dalam hati. Baru kali
ini ia memiliki perasaan cinta sebesar ini pada seorang cewek. Entah sejak
kapan ia mulai menyukai Nurma. Tapi, sejak ia mulai sadar ia suka pada Nurma,
ia merasa ada seseorang yang sudah tahu dan merasa tidak senang. Tapi ia tak
tahu siapa. Yang jelas, orang itu ada di kelas. Apa ada seseorang yang suka
padanya. Atau malah suka pada Nurma. Hanafi berfikir kembali, siapa yang
kira-kira dekat dengannya atau Nurma. Kalau yang dekat dengannya hanya Amalia.
Ah, mana mungkin. Mak Amal kan udah sama kak Ares, fikirnya. Yang dekat dengan
Nurma… ah, ya. Bayu. Bayu selama ini dekat sekali dengan Nurma. Bahkan, mereka
setiap harinya sering bercanda tawa. Apa mungkin Bayu?
“Dia bilang dia udah
baikan kok. Enggak perlu lagi dijengukin,” Hanafi mengingat kata-kata Bayu di
kelas tadi. Apa mungkin dia enggak senang kalau kita-kita jengukin Nurma karena
di pingin jengukin Nurma sendirian? Atau, dia enggak pingin aku ketemu sama
Nurma? Hanafi terus dihantui dengan pertanyaan-pertanyaan yang ia sendiri tak
tahu apa jawabannya.
Hanafi berdiri. Ah,
sebelum terlambat, mending aku duluan deh yang nembak Nurma, putusnya dalam
hati. Saat ia berbalik, hei kemanakah Bayu?
“Lah, guys! Bayu ke
mana?” Tanya Hanafi pada teman-temannya.
“Ke toilet katanya,”
jawab Agil. Reflek Hanafi langsung berlari masuk ke rumah Nurma.
“Woi, mau ke mana,
Han?” Nopi berteriak. “Nyusul!” jawab Hanafi sambil berlari.
“Nyusul kok ke toilet,”
kata Nopi yang tanpa ia sadari teman-temannya malah tertawa dibuatnya.
“Aduh, aku keduluan
lagi,” kata Hanafi sambil masih berlari. Rasanya, jauh amat dari depan ke
belakang. Untung di rumah Nurma lagi enggak ada siapa-siapa.
“Aku, cinta sama kamu,
Yu!”
Hanafi terhenti. Ia
terpaku sesaat melihat adegan di dapur itu. Nurma terlihat baru saja
menghentikan Bayu pergi dengan menarik tangannya. “Prak!” hancur hati Hanafi
seketika. Bayu yang semula hanya menunduk akhirnya menyadari kehadiran Hanafi
karena Hanafi tak sengaja menendang kursi di sampingnya saat hendak berbalik.
“Hanafi?!” Bayu
terkejut dan secara reflek langsung melepaskan tangan Nurma. Hanafi berbalik
dan melangkah cepat meninggalkan mereka berdua.
“Han!” teriak Bayu
mencoba menghentikan Hanafi. Nurma masih sempat memanggil nama Bayu sebelum
Bayu menghilang di balik gorden pintu ruang makan.
“Tunggu, Han!” Bayu
menarik tangan Hanafi. Hanafi sontak terkejut. Entah mengapa ia bukannya marah
pada Bayu, tapi malah gugup.
“Nga, ngapain sih?”
tanyanya gemetaran.
“Aduh, sorry, ya. Tadi
enggak seperti apa yang kamu liat, kok. Sumpah, deh!” Bayu membela diri.
“Ah, apa sih? Kalau
emang sama kayak yang aku kira, juga enggak papa kok. Emang kenapa?”
“Tapi, Han…”
“Aku enggak papa. Tadi
aku malu aja. Kayaknya timingnya enggak tepat banget ya aku ganggu acara nembak
kamu sama Nurma?”
“Hah, nembak?” Bayu
terlihat kebingungan.
“Yah, sorry. Diterusin
aja. Enggak papa. Aku bisa pura-pura enggak tahu kok,” Hanafi mulai beranjak.
Tapi…
“Han, kamu enggak
ngerti. Bukan Nurma, Han. Tapi, kamu.”
“Ha???” Hanafi
benar-benar tak mengerti.
“Iya, Han. Aku enggak
cinta sama Nurma. Tapi, aku cintanya sama kamu.”
“PRAANG!!!” tiba-tiba
gelas di tangan Nurma jatuh semua. Ia benar-benar terkejut melihat Bayu memeluk
Hanafi dari belakang. Ia baru saja hendak mengantar minuman ke depan.
“Bayu, Hana…” lirih Nurma.
“Nurma…” lirih Hanafi.
“Ada apaan sih?”
tiba-tiba teman-temnnya yang lain masuk begitu saja. Mungkin mereka penasaran
dengan suara gelas yang jatuh dari tangan Nurma tadi. Tentu saja mereka
langsung kaget bukan main melihat pose Bayu dan Hanafi.
“Bayu, Hana…” lirih
mereka serempak.
Hanafi langsung
melepaskan pelukan Bayu. Tapi, mereka tetap memandanginya. Dilihatnya Bayu
hanya menunduk.
“Ah, apa-apaan ini? Aku
kan niatnya mau nembak Nurma. Bukannya malah ditembak Bayu….” Hanafi terkapar.
Dan setelah itu, ia bangun dan sudah ada di kamarnya.
The
End
Sekali lagi, yak. Itu hanya karangan fiktif belaka. Benar-benar fiktif. Yang aslinya bukan
kayak gitu kok. Kita semua tahu enggak ada yang maho di kelas kita. Dan Hanafi
juga sudah sama Nurma, kan. Hehe… Peace!!!! J
By : Chip_NSS
Sorry for : Hanafi, Bayu, and Nurma. It is not an
intentional
Tidak ada komentar:
Posting Komentar